- Sejak kerajaan Majapahit runtuh pada tahun 1527, Blambangan berdiri sendiri, namun dalam kurun waktu dua abad lebih (antara tahun 1546-1764) menjadi rebutan kerajaan di sekitarnya.
- Antara lain kerajaan Demak dan Mataram di Jawa Tengah, juga kerajaan di Bali (Gelgel, Buleleng dan kemudian Kerajaan Mengwi) bergantian menyerang Blambangan dalam kurun dua abad itu.
- Selama 42 tahun (1655 sampai 1697) terjadi 4 kali pemberontakan, dan 4 kali perpindahan ibukota. Kedudukan istana di Kedawung dipindahkan ke Bayu (1655), kemudian ke Macanputih dan akhirnya ke Kutalateng.
- Selanjutnya perang yang berkepanjangan mengakibatkan istana pindah lagi ke Ulupampang, dan akhirnya ke Banyuwangi pada tahun 1774.
Blambangan dalam kerahasiaan
- Blambangan mentorehkan gejolak politik yang sangat ruwet dan tidak memiliki peninggalan-peninggalan penting yang dapat menyingkap kesejarahannya.
- Tulisan-tulisan tentang Blambangan tercampur aduk dengan "mitos" dan legenda, fakta sejarah sangat sulit dirangkai. Padahal Blambangan sejak lama mendapat perhatian penulis asing. Brandes menulis dalam tinjauan filologi pada 1894, Pigeaud pada tahun 1932. Ann Kumar pada 1979, Winarsih Arifin pada tahun 1980, dan Darusuprapto menulis 1984. Semuanya tidak berani masuk dalam tulisan sejarah.
Tahun 1927, J.W. de Stoppelaar berhasil menyelesaikan tulisannya, namun dalam bidang hukum adat.
Kemudian Atmosoedirdjo menulis kajiannya dalam bidang yang sama pula (hukum Adat) tahun 1932.
Hasil kajian mengenai Blambangan dengan demikian terbatas pada dua bidang ilmu, yaitu Filologi dan Hukum Adat. Keduanya di luar bidang Ilmu Sejarah.
Tahun 1923 ada penulis C. Lekkerkerker (nama samaran) memberanikan menuliskan sejarah Blambangan.
Blambangan sebagai daerah otonom
Bukti autentiknya adalah Prasasti Gunung Butak 1294 M, menyebutkan perjanjian antara Raden Wijaya sebagai pendiri Majapahit dengan Arya Wiraraja yang telah banyak membantu dalam mendirikan kerajaan Majapahit bahwa "pulau Jawa akan dibagi menjadi dua bagian dan masing-masing mendapat sebagian".
Dalam perjanjian itu Arya Wiraraja diberi kekuasaan atas wilayah Lumajang Utara, Lumajang Selatan dan Tigang Juru yang semua itu menjadi wilayah yang dikenal dengan Blambangan. Arya Wiraraja sebagai adipati pertama. (C. Lekkerkerker, 1923:220).
- 16 tahun Arya Wiraraja memerintah Blambangan kemudian digantikan oleh Arya Nambi (1311-1331 M); di Majapahit, juga terjadi pergantian kekuasaan Raden Wijaya kepada anaknya, Jayanegara.
- Jayanegara, tidak seperti ayahnya, ia melakukan penindasan dan menyengsarakan rakyat.
- Oleh karena itu 1316 M, Arya Nambi menyerang Jayanegara, serentetan peristiwa yang kemudian berulang terus menerus menjadi pertarungan antara penguasa pusat dan penguasa Blambangan.
- Hubungan Blambangan-Majapahit keruh ketika Bhre Wirabumi, anak Hayam Wuruk dari selir, bertahta di Blambangan (1364-1406 M) menentang pusat, perang Paregreg meletus. Namun Bhre Wirabhumi terbunuh pada 1328 Saka (1406 M) oleh prajurit pusat pimpinan Wikramawardhana.
Blambangan dan pengaruh luar
- Haagerdal (1995:106-107) dan Beatty (2001:17) menyebut bahwa Blambangan menjadi tempat pengungsian bangsawan dan cendekiawan Majapahit yang melarikan diri karena Majapahit juga semakin tak menentu, mereka mendekati Bali untuk membangun aliansi. Pengaruh budaya Mataram Islam
- Pada tahun 1639 M, Mataram di Jawa Tengah berhasil menaklukkan Blambangan; rakyat Blambangan banyak yang terbunuh dan dibuang. (G.D.E. Haal, seperti yang dikutip Anderson, 1982; 75).
- Dibawah kekuasaan Mataram inilah penduduk Blambangan mulai masuk Islam, namun tidak terjadi pergeseran struktur sosial dan kebudayaan, oleh karena kuatnya adat Blambangan (suku/wong Using) yang terus dipertahankan.
Keris Blambangan dan pengaruh jamannya
Keris Blambangan mengalami tiga (pengaruh) jamannya :
- Keris Blambangan dalam pengaruh Majapahit.
- Keris Blambangan dalam pengaruh Mataram dan Madura, karena Blambangan saling membahu dengan Madura dimana merasa sehati dalam pemberontakan Trunojojo (melawan Amangkurat).
- Keris Blambangan dalam pengaruh Bali, ketika jaman keemasan Dalem Waturenggong yang makmur, dan kerajaan Gelgel meluas ke Blambangan, Lombok, dan Sumbawa. Dalam bidang seni dan kesusastraan mencapai puncak keemasan.
Adanya indikasi terpengaruh Bali
Pada saat Dalem Ngulesir menjadi raja, pusat pemerintahan dipindahkan dari Samprangan ke Gelgel (Sweca Pura).
Dalem Ketut Semara Kepakisan pada tahun Saka 1305 (1383 M) adalah satu-satunya raja dari Dinasti Kepakisan yang sempat menghadap Raja Sri Hayam Wuruk di Majapahit. Beliau mendapat hadiah keris Ki Durga Dungkul (wilut), Ki Bengawan Canggu kemudian Ki Sudamala keris ini masih disimpan di Puri Karang Asem berbentuk relief berserat sanak.
Dalem Ketut Semara Kepakisan dalam perjalanannya singgah lama di Blambangan sebelum kembali. Keris Blambangan dan ciri-cirinya
Menurut buku kuno : Gonjo sebit rontal; gandik agak pendek dan miring (doyong); Sogokan pendek dangkal (cekak); Luwes walau tidak rengkol luknya. Analisa dari realita sejarah:
1. Keris Blambangan era Majapahit, Tidak berbeda jauh dengan tangguh Majapahit, empu yang tercatat a.n: empu Bramakedali, Kekep, Luwuk, Kebolungan, Ki Pitrang/Rambang dan Jaka Sura (anak Pitrang). Ada catatan bahwa karya empu Pitrang paling tersohor, biasanya bilahnya gilig (wuwung), pamornya nyekrak (miring) dan bentuknya luwes, luknya rengkol sedang.
Gonjo Sebit Rontal Gandik Pendek Miring
Karya Pitrang/Ki Rambang atau Supa Mandrangi - Pangeran Sedayu
Gandiknya miring, bilah wuwung (gilig)
Kembang kacang nggantung Lambe gajah diatas tidak landai
2. Era keris Blambangan dalam pengaruh Mataram dan Madura. Ciri-cirinya jika memakai sogokan agak lurus dan dangkal, luk pertama tinggi, sering luknya datar. Besi dan pamornya menyerupai bahan besi keris Tuban, grenengnya seperti keris Madura, secara keseluruhan seperti Mataram, mungkin keris Blambangan menjadi patron keris Mataram, atau sebaliknya, bedanya pada ukuran bilahnya lebih panjang (corok). Jika bergandik naga, biasanya naga primitif.
Lihat rancang bangun Keris Madura dan keris karya Jaka Sura
3. Era keris Blambangan dalam pengaruh keris Bali. Ciri-cirinya mirip keris Bali, namun bahan besi dan pamornya seperti bahan keris Jawa dan penampilannya tidak licin seperti keris Bali. Pamornya mirip bahan pamor tangguh Tuban, grenengnya seperti greneng Majapahit, namun rincikan lain seperti kembang kacang dan lambe gajah seperti ciri keris Bali.
Pengaruh Bali - besi mirip bahan keris Tuban
Akan kemanakah keris kamardikan gaya Blambangan?
Para pelestari keris sering ingin mencari gaya spesifik kedaerahannya, namun keris tangguh Blambangan berdiri dalam berbagai pengaruh kekuasaan masa itu. Hal ini menjadi tantangan bagi pelestariannya.
Namun ada hal yang perlu dipertimbangkan pula adalah bahwa keris dalam kenyataannya memiliki nilai non-bendawi yang harus diperhatikan dan dilestarikan.
Selain menciptakan keris unggul dalam segi bentuknya, sebagai artefak budaya perlu dipahami adanya 7 (tujuh) aspek nilai non-bendawi keris yang harus dilestarikan :
1. Kesejarahan; 2. Fungsi Sosial; 3. Tradisi; 4. Filosofi; 5. Mistik/magis; 6. Seni/kesenirupaan; 7. Teknologi
Aspek Kesejarahan
Secara ilmiah, keris selalu berkaitan dengan artefak budaya seperti relief pada candi, misal candi Sukuh, Penataran, Borobudur dll,
Kata kris telah tertulis dalam Prasasti Rukam, Prasasti Dakuwu dll,
Keris ditemui dalam buku sejarah, BABAD, kisah-kisah Legenda, buku-buku Padhuwungan dll.
Sudut pandang pelestarian keris kamardikan dapat mencari sumber dari aspek kesejarahannya.
Aspek Fungsi Sosial
Awalnya sebagai senjata tikam, untuk perang campuh satu lawan satu.
Bergeser menjadi jimat/piyandel/pusaka yang menjadi keyakinan.
Karena campur tangan raja (kekuasaan), keris berfungsi sebagai penanda status sosial, kepangkatan, penggolongan profesi dll.
Keris sebagai pelengkap busana.
Cinderamata persahabatan antar kerajaan.
Keris Kamardikan perlu dicari kemanfaatannya pula.
Relief di Candi Panataran (1347 SM) - dulu keris sebagai senjata tikam.
Sekarang sebagai pelengkap busana, keris semakin dibutuhkan oleh karena kesadaran terhadap budaya dan jati diri bangsa. Aspek Tradisi
Adanya tradisi pemberian keris kepada menantu lelaki yang disebut “kancing gelung”.
Sebagai legitimasi estafet pelimpahan kekuasaan. (Misal keris Kyai Joko Piturun, Kyai Plered di keraton MATARAM).
Tradisi menjamas pusaka di bulan Suro atau Maulud dan kirab pusaka.
Tradisi membangkitkan kembali kekuatan (tuah) keris seperti upacara ‘Sidhikara Pusaka’ dan Pasupati/Tumpak landep (di Bali).
Perlunya melestarikan tradisi perkerisan dalam memberi bobot budaya pada keris kamardikan.
Upacara Pasopati/Tumpek Landep 2007 di Bali
Aspek Filosofi
Adanya ungkapan : “curigo manjing warangka, warangka manjing curigo”, filosofi menunggaling kawula Gusti.
Makna bentuk bilah (dapur) dan makna motif pamor sebagai pengharapan dapat tercapainya suatu tujuan.
Adanya penandaan dari empu untuk menuangkan pesan tertentu (semiotik).
Keris kamardikan harus memiliki konsep dan filosofi yang argumentatif.
Motif Pamor memiliki makna sebagai pengharapan dapat tercapainya suatu tujuan.
Aspek Mistik/Magis
Karena kekaguman manusia saat itu, terhadap penemuan teknologi besi yang dianggap sebagai ‘inspirasi dewa’ dan prosesi pembuatan dengan diiringi upacara–upacara.
Pengagungan terhadap profesi para empu (panday wsi) berlanjut karena para Ksatrya dan Raja membutuhkan senjata ampuh, dan para empu dianggap sakti.
Pengagungan ini melahirkan budaya spiritual ketika peristiwa-peristiwa gaib bersentuhan dalam masyarakatnya.
Proses penciptaan keris kamardikan
perlu adanya ritual atau penyertaan do’a yang bertujuan untuk kebaikan manusia. Aspek Seni/Kesenirupaan
Bentuk keris yang a-simetri dan unik, tiada duanya di dunia.
Nilai harmoni yang sanggup dimuati oleh “kebutuhan teknomik”, keris dibuat condong dan berluk untuk memaksimalkan fungsinya sebagai senjata tikam.
Keris merupakan media ekspresi yang dituangkan dalam bentuk bilah (dapur), motif-motif pamor, rancang bangun dan variasinya, serta kelengkapan sarung dan asesorinya sebagai media seni.
Seni keris kamardikan harus kreatif untuk konteks kontemporer, dan harus tepat pakem jika dalam konteks konvensional (mutrani keris tangguh tua).
Dhapur keris merupakan media ekspresi yang dapat dituangkan dalam bentuk-bentuk bilah (dapur).
Aspek Teknologi
Terdapat banyak hal yang menjadi kekaguman para peneliti asing, misalnya :
- Pengadaan material (bahan dari meteor jatuh).
- Teknik tempa penyatuan logam heterogen secara hand-made yang merupakan metallurgy kuno sebagai unggulan yang tiada duanya.
- Teknologi kuno ’pengerasan’ (karburasi/nyepuh) besi low carbon menjadi high carbon yang keras/tajam tampaknya memiliki kekayaan variasi teknik dan rahasia yang belum diketahui secara teknologi modern. (Prof. Dr. Mardjono Siswosuwarno - ITB).
Perlu pengadaan material bermutu, serta penjiwaan yang dalam dan sakral, walau telah menggunakan modernisasi peralatan.
Dengan semangat membara, tulus dan sadar budaya. Pelestarian akan berlanjut hingga anak cucu kita, keris sebagai warisan budaya adiluhung bangsa Nusantara, tidak lagi dikawatirkan punah.
Terima kasih kepada teman-teman yang koleksi kerisnya terpampang disini, etikad pembuatan makalah ini adalah untuk sebuah kemanfaatan bersama. Referensi:
Beatty, Andrew. 2001. Variasi Agama di Jawa: Suatu Pendekatan Antropologi. Jakarta: Murai Kencana.
Brandes, J. 1920. Verslag Over Een Babad Blambangan. TBG:XXXVI.
Darusuprapta, 1984. Babad Blambangan. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada. Epp. F. 1849. Banjoewangi. TNI I.ii: 242-246
DR. Dharsono, MSn; KERIS NUSANTARA Revitalisasi melalui upaya konservasi; 1926 thesis.
Groneman, J. DR. (1910). Wet er van de Pamor Smeedkunts worden zal (The condition of pamor art in the future), Semarang: Harian De Lokomotif, 19 July.
Harsrinuksmo, Bambang (tth), Katurangganing Dhuwung-dhuwung, Surakarta: Mangkunegaran Library H 124 & H 125.
Haryono Haryoguritno; Keris Sebagai Warisan Budaya Dunia; Puri Wiji thesis, December 2007.
Lekkerkerker. 1926. Banyuwangi 1880-1910. Indische Gids.
Raharjo, Sunaryo. (1977). Andalan Bab Pusoko Tosan Aji. Surakarta: Mangkunegaran Library H 128.
Stoppelaar, J.W. 1927. Blambangan Adatrecht. Wageningen: H. Veenman & Zonen.
Worsley, P.J. 1972. Babad Buleleng: A Balinese Dynastic Genealogy. The Hague: KITLV-BI No.8.