KERIS KAMARDIKAN PROGRESIF

Abstrak I-E-O adalah sebuah konsep senirupa yang lekat dengan sebuah proses penciptaan menuju kelengkapan sebagai karya “berbobot”. I-E-O pada keris bisa diartikan sebagai pemenuhan ekspresi Intelektual, Estetika dan Orisinalitas ide pada sebuah karya keris.
Intelektual menyangkut latar belakang kultural, komunikasi, kritikal maupun penalaran. Dikemas dalam estetika perkerisan, sesuai dengan pesan yang ingin disampaikan.




Kanjeng Kyahi Gelombang Cinta karya modern empu Sukamdi

Intelektual
Seorang intelektual (dari kata sifat yang berarti "yang melibatkan pemikiran dan alasan") adalah orang yang menggunakan kecerdasan dan analisis berpikir (Samuel Coleridge), dalam profesinya.
"Intelektual" dapat digunakan untuk arti luas, termasuk dalam tiga klasifikasi kegiatan manusia:
1. Individu yang terlibat secara mendalam dalam abstraksi ide dan teori.
2. Profesi yang hanya melibatkan sosialisasi dalam bentuk produksi ide, yang berbeda dengan pelaksana atau pelayanan dalam sebuah pekerjaan.
3. Setiap keahlian yang melatari kegiatan budaya dan seni, keahlian seseorang yang memungkinkan melahirkan otoritas budaya, yang kemudian mereka publikasikan di depan umum tentang hal-hal berbeda dari biasanya.

Istilah "intelektual" sering untuk menyampaikan gagasan umum yang sifatnya edukatif dan kreatif. Pendapat dalam buku The Evolution of an Intelektual (1920) tulisan John Middleton Murry, mengatakan adanya konotasi umum bahwa perilaku 'intelek' selalu diterapkan pada cabang-cabang kesenian seperti dalam kegiatan sastra.



Konfigurasi abstrak dari keris brojoguno empu Brojoguno I, koleksi: KRAT. Sani Gondo Adiningrat

Estetika
Estetika secara sederhana adalah ilmu yang membahas 'keindahan', bagaimana ia bisa terbentuk, dan bagaimana seseorang bisa merasakannya. Lebih lanjut mengenai estetika adalah pendalaman dari sebuah filosofi yang mempelajari nilai-nilai sensoris, yang kadang dianggap sebagai penilaian terhadap sentimen dan rasa. Estetika merupakan cabang yang sangat dekat dengan falsafah seni.

Sedangkan interpretasi terhadap ”Seni” menurut Leo Tolstoy adalah suatu estetika yang dipengaruhi oleh adanya intelektual dan pengalaman (experience). Artinya jika dikaitkan dengan interpretasi seni dalam perkerisan, apa yang disebut ‘estetika keris’ sudah tentu melibatkan pengalaman (atau wawasan) pada penghayatannya terhadap nilai keris. Seperti pakem (pedoman pokok) Yo Mor Jo Si Ngun misalnya; kita dapat menangkap maksud kata-kata itu yakni Guwoyo Pamor, Wojo, Besi, Wangun yang bagus, namun jika diperdalam lagi aspek Yo atau Guwoyo dari Yo Mor Jo Si Ngun yang bagaimana yang dianggap bagus, tentu ada pendalaman pada obyek tersebut. Begitu pula Mor atau Pamor yang bagaimana yang dianggap baik, Jo atau Wojo yang dianggap baik dan terutama garap atau Wangun pada Ngun sangat berkait dengan harmonisasi, maka untuk menjadi “mengerti keris” dibutuhkan pengalaman analisis yang melatari wawasannya.

Masalah ini memang subyektif tetapi jika pemahamannya tepat, maka nilai-nilai itu ternyata universal, dapat dipertanggung jawabkan secara umum, dan bukan ‘tik gotak gatik gatuk’ (dicari-cari dan dihubung-hubungkan; bhs. Jw).

Estetika berasal dari Bahasa Yunani, dibaca
aisthetike. Pertama kali digunakan oleh filsuf Alexander Gottlieb Baumgarten pada 1735 untuk pengertian ilmu tentang hal yang bisa dirasakan lewat perasaan.

Pada masa kini estetika bisa berarti tiga hal, yaitu:

1. Studi mengenai fenomena estetika.
2. Studi mengenai fenomena persepsi.
3. Studi mengenai seni sebagai hasil pengalaman estetis.

Meskipun awalnya sesuatu yang indah dinilai dari aspek teknis dalam bentuk suatu karya, namun perubahan pola pikir dalam masyarakat akan turut mempengaruhi pernilaian terhadap keindahan. Misalnya dalam sejarah seni pada
masa romantisme di Perancis, keindahan berarti kemampuan menyajikan sebuah ke’agungan’. Pada masa realisme, keindahan berarti kemampuan menyajikan sesuatu dalam keadaan apa adanya (menuruti realitas visual yang ada). Pada masa modern, maraknya de Stijl di Belanda, keindahan berarti kemampuan mengkomposisikan warna dan ruang serta kemampuan mengabstraksi benda (dalam senirupa). Pada sekitar abad 19 inilah munculnya aliran seni lukis abstrak.

Perkembangan selanjutnya menyadarkan kita bahwa keindahan tidak selalu memiliki rumusan tertentu. Ia berkembang sesuai penerimaan masyarakat terhadap ide dan gagasan yang dimunculkan oleh pembuat karya. Karena itulah, selalu dikenal dua hal dalam penilaian keindahan, yaitu the beauty, suatu karya yang memang diakui banyak pihak memenuhi standar. Serta the ugly adalah suatu karya yang memang tidak dianggap memiliki standar secara umum, justru menampilkan keburukan, seronok namun kenyataannya itu merupakan sebuah ekspresi dari realita yang ada.


Orisinalitas Ide
Jika aliran abstrak (de Stijle di Belanda) dan pada umumnya senirupa abstrak di barat dimulai abad 19-an, sebenarnya di Nusantara, beratus-ratus tahun bahkan beribu tahun yang lalu telah dilakukan penciptaan karya abstrak. Contohnya dalam kesenian wayang, arsitektur dan juga perkerisan.

Kenapa?


Keris Singosari dengan estetika modern koleksi Hengky Joyopurnomo
dengan mahar yang sulit dinilai lagi karena kelangkaan dan keutuhannya.


Kepercayaan maguru alam (berguru pada alam), merupakan budaya spiritual yang mengisi kegiatan utama yang lekat dengan kehidupan sehari-hari pada masyarakat agraris di Nusantara ini. Maka dalam seni perkerisan tak akan lepas istilah-istilah penyampaian sebagai ‘tranformasi ide’ dari apa yang dihayatinya terhadap alam dan kehidupan. Istilah seperti menyebutkan bentuk keris disebut “dhapur” adalah sebuah metafora kata dari bahasa Jawa menyebut wajah, bentuk atau rupa, dan istilah “pamor” merupakan sebuah pergeseran asal kata dari ‘dimor’ atau dicampurkan (layer-layer berbahan nikel ditumpuk disatukan dengan besi) menjadi kata "pamor".

Kondisi berkesenian seperti di Jawa ini tidak pernah memenuhi golongan
‘romantisme’ Perancis maupun ‘realisme’ Yunani. Ia telah tampil sebagai elemen fundamental dalam ekspresinya berupa ricikan (bagian-bagian keris) atau motif pamor yang selalu simbolis yang diabstraksikan dari alam oleh empu-empu kita. Selanjutnya keris tetap bergaul dengan istilah-istilah yang berkaitan dengan simbolisme alam dan kehidupan. Seperti istilah pamor wos wutah (beras berlimpah bertumpahan atau luber), kenanga ginubah, pari sakwuli, udanmas, blarak sinered, ron genduru, dlsb. Pamor-pamor itu ditata dalam sebidang kecil bilah keris dengan konfigurasi visual yang bermaksud mengabstraksi obyek alam yang terlibat dalam kesehariannya. Empu-empu kita telah lama berhasil mengutarakan sebuah basic kultural yang hingga kini menjadi ciri dan merupakan suatu nilai, yaitu berdaulatnya budaya spiritual maguru alam yang dituangkan pada keris dengan abstraksi penghayatan terhadap alam.

Kemudian dhapur dan motif pamor keris diputrani (diduplikasi) terus menerus dan tak lekang oleh jaman. Lebih dari 140 bentuk master (dhapur babon/pancer) yang berbobot I-E-O (intelektual-Estetik-Orisinal) dan pula ratusan motif (konfigurasi) pamor, yang sebenarnya merupakan seni abstrak dalam nilai senirupa.

Keris Kamardikan kontemporer
Keris (tangguh tua) pada waktu itu sudah mengalami prosesi ‘intelektualism’, ‘estetik’ dan ‘orisinalitas ide’, seperti pada penciptaan awal pada dhapur babon/pancer dan jenis-jenis pamornya. Maka, bukanlah hal yang mengada-ada jika keris Kamardikan akan
memenuhi prosesi tersebut dengan latar kultural modern sebagai ekspresi para seniman keris, bahkan mungkin berbicara hingga pada tataran kritik sosial politik.

Jika ada ruang publik yang tersedia untuk kawula perkerisan, maka ajang yang perlu digelar adalah dengan konsep keris Kamardikan kontemporer yang memenuhi bobot I-E-O. Sebagai implementasi pelestarian menuju nilai ’universal’ sebuah karya seni (keris) untuk tidak hanya dikhusyuki oleh komunitas yang kecil terbatas, melainkan
dapat dinikmati oleh banyak orang. Maka pada perilaku penghayatan maguru alam dan kehidupan, serta perenungan religius keris otomatis akan mendudukkan kembali kepada pesan spiritual yang esensial dalam dunia modern sebagai manusia modern. Bukan keris dalam kungkungan “klenik” dan gaib yang sensasional.

‘Keris’ pada saatnya, dapat berbicara kepada awam baik melalui
'rupa' maupun kedalaman konsepnya (bukan tuahnya) tanpa pengetahuan yang terlalu ekslusif.

Marilah kembali, kita coba menelaah apa yang dimaksud dengan keris Kamardikan sebagai sebuah aktifitas pelestarian.


Keris Kamardikan adalah istilah. Kamardikan berasal dari kata Mahardika yang artinya merdeka. Jika keris umumnya selalu lekat dengan atribut jaman pembuatan yang sering disebut ‘tangguh’, dan terkait pula dengan gaya keris yang memiliki kekhasannya dari setiap kerajaan. Keris Kamardikan memiliki dua makna, pertama, yaitu adalah keris-keris yang dibuat pada jaman setelah Indonesia merdeka, dimana kerajaan-kerajaan menyatu dalam Republik. Makna yang kedua adalah kemerdekaan pada keris-keris yang diciptakan berdasarkan konsep-konsep baru yang bebas. ( kutipan Katalog Pameran Kamardikan Award 2008 ).


Prosesi ‘intelektualism’, estetika dan orisinalitas ide dalam karya ‘keris’ (yang bukan mutrani) adalah kebutuhan seniman keris pada saatnya nanti, serta membawa keris Kamardikan berbobot dan yang dapat diterima umum serta sanggup menjadi
‘masterpiece’ atau ‘mahakarya’ dikemudian hari.

(Toni Junus; sebuah perenungan).

Dikutip dari PAMOR 11.

Kepustakaan :

1. Agus Sachari; 2002, Estetika, Penerbit ITB
2. AM. Jelantik; 1987, Pengantar dasar ilmu estetika, Akademi Seni Tari Indonesia
3. Bender, T., (1993), Intellect and Public Life, The John Hopkins University Press.
4. Macmillan; 1911, The Intellectual Life, Norwegian Press Ltd.
5. Modern Art and Modernism: A Critical Anthology. ed. Francis Frascina and Charles Harrison, 1982.
6. Robertson, Jean and Craig McDaniel: Themes of Contemporary Art, Visual Art after 1980, page 16. Oxford University Press, 2005.
7. Bincang-bincang dengan DR. Dharsono M.Sn.